Tepat di 18 maret 2013 aku menuliskan ini, Dear God dari Avenged sevenfold mengiringi ku memulai kata-kata ini. Saya ingin menuliskan betapa saya mencintai keluarga saya, Ibu, Ayah, Adik-adik saya. Keluarga saya bukan keluarga berlimpah harta yang semuanya ada dengan mudah. Juga bukan keluarga yang kekurangan, keluarga kami hanya keluarga yang beranggotakan orang-orang berjiwa luar biasa. Saya anak pertama di keluarga ini, bahkan dikeluarga Ayah dan Ibu saya adalah cucu pertama, meski ibu saya bukan anak pertama. Beban dipundak saya ini besar, tapi tidak menyusahkan. Saya sungguh butuh kesuksesan, maka Allah memberikan ujian-ujian kehidupan kepada saya untuk hasil yang saya butuhkan itu, persis logikanya dengan mau masuk Universitas. Saya menjalani kehidupan saya dengan berteman dengan berbagai lapisan, mulai dari anak tukang sayur, pengepul hingga anak pejabat tinggi. Tapi dengan itu semua saya menjadi dewasa diwaktu yang seharusnya, bukan karna usia saya yang jauh lebih muda. Karna memang saya harus dewasa, entah kapan waktunya yang pasti semua orang akan bertemu waktu untuk berubah, terperanjat dari realita, mencari-cari solusi.
Pernah saya menanyakan pada Ibu, jika nanti saya kerja bolehkah saya pergi merantau diluar pulau sumatera. Ibu dengan cepat menjawab tidak setuju. Padahal, ketika saya menceritakan betapa saya ingin melanjutkan kuliah ke Australia, betapa kagumnya saya pada Negara-negara timur tengah dan tepian baltik lalu saya ingin menjelajah tempat-tempat sejarah islam itu, betapa saya ingin bekerja di papua atau pertambangan. Kesemuanya itu membawa saya ke tempat yang jauh pula, tapi ibu tak pernah tidak setuju. Dia tau saya mencintai itu semua, saya butuh ketempat itu. Tapi ketika saya berandai-andai jika saya bisa kerja merantau, beliau tidak setuju. Saya sadar, Ibu mencintai saya. Dulu pernah ibu bicara kepada salah seorang keluarga jauh kami, kalau ibu mau saya punya suami nanti yang di Palembang saja, disekitar sumatera. Ibu memang bukan seorang figur ibu yang selalu memanjakan anaknya, dia memberikan kasih sayangnya dengan membuat kami mandiri sehingga terkesan dia tidak terlalu perhatian.
Semalam, saya beri tau ibu bahwa saya lulus di test kursus malah melampaui target level yang saya impikan, yang diekspektasikan teman-teman pun saya lampaui, senyum sumringah ibu jelas aku lihat, matanya yang berbinar, lirikan mata ibu kea rah ayah yang seolah menandakan ‘saya sudah kira sebelumnya’. Memang, keputusan saya untuk mengambil les bahasa inggris melewati tahap yang sulit di diskusi keluarga hingga saya harus berdebat dengan ayah. Padahal hanya saling tidak mau mengerti satu sama lain. Saya ingat betul, bagaimana dengan kasih tulusnya ibu meminta adik ku mengalah tentang papan ujian kebetulan kami ada ujian di hari yang sama. Bagaimana ibu ikut repot mempersiapkan semuanya, ibu menemani saya belajar dengan cepat dalam 3 jam meringkas materi keselurahan bahasa inggris agar bisa saya catat di notes saya untuk jadi bekal test nanti. Dan hasilnya saya lulus, ibu bahagia.